Reposisi Kapolri Beresistensi Rendah

Kontroversi langsung muncul, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajukan nama Komjen Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (5/10) lalu. Banyak kalangan yang menganggap pengajuan mantan Kapolda Metro Jaya itu menjadi Tribrata (TB) I sarat muatan politis. Tapi tak sedikit kalangan yang menganggap, pilihan SBY terhadap Timur Pradopo sudah pas dan menjadi win-win solution atas perdebatan yang muncul, seputar dua calon yang muncul sebelumnya, yaitu Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo. Saya sendiri melihat, pencalonan Timur Pradopo merupakan pilihan dengan resistensi cukup rendah.
Sebagaimana kita tahu, sebelum Timur Pradopo diajukan, nama Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo menggelinding seperti bola salju. Bahkan di kalangan Polri, munculnya Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo mematik isu perpecahan di kalangan jenderal yang mendukung keduanya.
Sepertinya SBY melihat kondisi tersebut, sehingga terkesan lambat dan tidak segera memutuskan, apakah Nanan atau Imam yang diajukan ke DPR untuk menjadi pengganti Bambang Hendarso Danuri (BHD) yang akan memasuki purnabakti. Bagi yang sudah mengenal SBY, pasti tidak kaget dengan kelambatannya menyerahkan nama calon Kapolri pengganti BHD. Selama ini SBY memang terkenal hati-hati, dan cenderung pemilih dalam menyerahkan posisi strategis di pemerintahannya.
Dalam perkembangan terakhir, elit politik di DPR juga mempunyai pandangan berbeda terhadap sosok Nanan dan Imam. Kalau pada saat itu SBY memaksakan nama Nanan atau Imam, atau bahkan dua-duanya diajukan ke DPR, akan terjadi perpecahan, baik di tingkat elit politik maupun tubuh Polri. Dari kacamata politik, SBY sepertinya sangat mempertimbangkan dengan matang dampak dimajukannya Nanan atau Imam.
Pada akhirnya SBY memilih Timur Pradopo. Pastinya ada banyak pertimbangan, sehingga SBY memilihnya. Apalagi kalau mengacu pada realitas bahwa pagi hari sebelum diajukan menjadi Kapolri, Timur Pradopo masihlah jenderal berbintang dua. Tentunya kepangkatan Timur tidak memenuhi syarat untuk dimajukan menjadi Kapolri, karena untuk menjadi Kapolri, minimal harus berbintang tiga. Rupanya nama Timur Pradopo memang sudah dipersiapkan dengan matang. Siangnya Timur Pradopo dipindahtugaskan ke Kepala Bagian Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam). Otomatis pangkat Timur Pradopo naik menjadi jenderal bintang tiga. Sorenya SBY mengajukan namanya sebagai calon Kapolri.
Sekilas, perjalanan Timur Pradopo menjadi Kapolri tampak seperti sudah dipersiapkan. Namun kalau kita mau melihat lebih jauh, justeru terlihat adanya sebuah solusi yang elegan dari munculnya nama Timur Pradopo. Dari sisi kepentingan politis, nama Timur Pradopo tidak mengandung resistensi tinggi. Dia bisa diterima semua pihak, karena tidak dekat dengan elit partai atau orang-orang yang mempunyai kepentingan terhadap institusi Polri. Berbeda dengan Nanan dan Imam yang sejak kemunculannya sudah menimbulkan polemik dan kontroversi. Selama bertugas, Timur Pradopo juga tidak terjebak dalam lingkaran permainan partai politik. Dia tidak pernah terdengar bermain dan terlibat kasus dengan mafia-mafia kasus. Hubungannya dengan cukong-cukong bermasalah pun relatif tidak ada.
Kalau pun ada beberapa pihak yang menentang Timur Pradopo karena tidak mampu menyelesaikan kasus Trisakti, penusukan pendeta di HKBP Ciketing, penganiayaan terhadap aktivis ICW dan bentrok etnis di Ampera, itu hanyalah sebuah riak dan dinamika yang wajar atas naiknya seseorang pada posisi strategis. Namun lepas dari itu, Timur Pradopo adalah sosok yang bersih dan ‘nggak neka-neko’.
Munculnya Timur Pradopo sebagai calon tunggal juga bisa menghindarkan ‘politik dagang sapi’. Seandainya Nanan atau Imam atau keduanya yang dimajukan, pasti akan terjadi tarik ulur di DPR yang sarat kepentingan politik.Belajar dari pengajuan calon tunggal Panglima TNI beberapa waktu lalu, SBY cukup paham bagaimana membuat suasana ruang sidang di Gedung DPR menjadi kondunsif.
Pada kenyataannya munculnya Timur Pradopo tidak banyak menimbulkan ‘riak politik’ di DPR. Sebagian besar anggota dewan merespons positif piihan SBY, meski ada juga yang berkomentar miring dengan Timur Pradopo. Namun secara umum, keputusan SBY cukup memberikan ketenangan politik, terkait ‘gonjang-ganjing’ nama Kapolri baru.
PR Sudah Menunggu
SBY pastinya tidak sembarang pilih, ketika memajukan Timur Pradopo sebagai Kapolri. Sebagai teman seperjuangan ketika sama-sama bertugas dalam pasukan penjaga perdamaian di Bosnia, SBY tentunya mengenal sosok Timur Pradopo. Dari segi pengalaman tugas, Timur Pradopo juga sudah teruji, ketika menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat, Kapolres Jakarta Pusat, Kapolwiltabes Bandung, Kapolda Jawa Barat, Kapolda Banten dan Kapolda Jawa Barat. Ketika di Akpol 1978, Timur merupakan salah satu lulusan terbaik bersama Nanan Sukarna.
Dari segi loyalitas, SBY sepertinya melihat lelaki kelahiran Jombang, 10 Januari 1956 ini sebagai sosok yang bisa diandalkan. Kepatuhannya terhadap atasan menjadi nilai positif Timur Pradopo di mata SBY. Loyalitas dan kepatuhan inilah yang diperlukan untuk mengejawantahkan instruksi presiden dalam menjaga keamanan bangsa Indonesia dan ketertiban masyarakat. Indonesia adalah bangsa yang besar, sehingga memerlukan orang-orang yang punya loyalitas tinggi dan jiwa pengabdian.
Semoga saja SBY tidak salah dengan pengajuan Timur Pradopo. Pada pundaknyalah, beban dan tugas Polri sebagai aparat penegak hukum disematkan. Banyak PR yang harus diselesaikan Kapolri baru, diantaranya reformasi di Polri, pemberantasan korupsi dan mafia kasus, kekerasan di masyarakat, konflik antar umat beragama, perdagangan manusia, narkoba, serta terorisme.
Kalau mau jujur, reformasi di tubuh Polri belum sepenuhnya dilaksanakan. Ketika fit and proper test di DPR, Timur Pradopo harus bisa meyakinkan bahwa di bawah kendalinya, Polri akan sanggup mereformasi diri dan bekerja secara profesional. Timur Pradopo juga harus meyakinkan DPR bahwa dirinya sanggup menuntaskan kasus-kasunya yang terbengkalai, seperti rekening gendut, kasus century, terorisme dan kekerasan dalam masyarakat.
Sementara itu masyarakat sendiri harus optimis dengan penunjukkan Timur Pradopo. Mari kita bersama-sama memberi kesempatan kepada Timur Pradopo untuk menunjukkan darmabaktinya. Tidaklah bijak kita menghujat, sebelum melihat apa yang akan dilakukan Timur Pradopo dalam mengatasi segala persoalan yang dihadapi Polri.
SUTRISNO
Direktur Operasional Developing Countries Study Centre (DCSC)