Rapat kerja nasional (Rakernas) Partai Amanat Nasional (PAN) yang diselenggarakan pada 10-11 Desember 2011 sepertinya akan menjadi ajang ‘penasbihan’ Hatta Rajasa sebagai calon presiden (capres) di Pemilu 2014. Indikasi pencapresan Ketua Umum PAN itu sudah terlihat, jauh sebelum acara Rakernas. Kalau melihat respons dari seluruh kader dan petinggi PAN, Rakornas yang juga menjadi ajang silaturami nasional (Silatnas) sepertinya hanya formalitas.
Kader PAN sepertinya sangat menginginkan tongkat estafet pemerintahan berpindah dari tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Hatta. Apalagi, posisinya sekarang Hatta adalah besan SBY. Logikanya, SBY pastinya akan lebih memilih Hatta sebagai penerus kekuasaannya, seandainya dia tidak menemukan suksesor yang pas untuk dirinya. Namun harus diingat, dalam berpolitik, tidak boleh hanya mengandalkan logika. Politik penuh dengan rekayasa yang terkadang berada di luar jangkauan logika. Seandainya PAN sudah mantap mencapreskan Hatta, kalkulasi politiknya harus matang.
Ada ungkapan menarik mengenai ini, yaitu ‘nafsu gede tenaga kurang’. Kengototan PAN mencalonkan Hatta Rajasa bisa diibaratkan sebagai sebuah “nafsu” politik. Namun itu bisa dipahami melihat realitas politik yang terjadi sekarang ini.
Pernyataan SBY bahwa dia dan keluarganya tidak akan maju dalam pemilu presiden 2014 adalah peluang bagi Hatta. Sampai saat ini, Partai Demokrat belum memiliki calon yang digadang-gadang bisa meneruskan trah SBY di pemerintahan. Ketua Umum PD Anas Urbaningrum dianggap belum cukup mumpuni untuk memimpin bangsa. Belum lagi faktor SBY yang sepertinya kurang suka atau menganggap belum saatnya Anas maju menjadi presiden.
Fakta-fakta di luar internal PAN tersebut semakin menguatkan ‘nafsu’ para kader untuk memunculkan Hatta sebagai calon penerus SBY. Namun terlalu naïf kalau PAN hanya melihat kedekatan dengan SBY sebagai faktor utama kengototan mereka mencalonkan Hatta. Untuk memenangkan persaingan dalam kompetisi politik, khususnya menuju Pemilu 2014, faktor internal adalah yang paling menentukan. Sementara faktor eksternal hanyalah pendukung.
Faktor Eksternal
Dalam konteks pencalonan Hatta, banyak faktor eksternal yang mendukung. Pertama, kedekatan dengan SBY, baik secara politik, pemerintahan maupun personal. Secara politik, di bawah Hatta, PAN adalah partai yang sangat loyal terhadap pemerintah. Dalam beberapa kasus dan ‘insiden politik’, PAN selalu berada di belakang pemerintah SBY. Secara pemerintahan, Hatta adalah tangan kanan SBY. Dalam penyusunan kabinet pemerintahan, Hatta selalu dilibatkan oleh SBY. Keberadaan Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian adalah bentuk kepercayaan SBY. Sementara secara personal, kedekatan Hatta-SBY tidak perlu diragukan lagi. Sebagai besan, emosi keduanya pasti terikat dalam sebuah kebersamaan keluarga.
Faktor eksternal lainnya yang bisa menjadi modal Hatta melenggang di Pemilu 2014 adalah dukungan dari pihak atau orang di luar PAN. Misalnya dukungan sejumlah organisasi kepemudaan, LSM, organisasi dan partai berbasis Islam, komunitas UKM dan lain-lain. Banyaknya dukungan dari luar PAN menunjukkan bahwa resistensi pencalonan Hatta cukup kecil.
Faktor pendukung yang luar biasa dari luar partai tentunya harus diimbangi dari dalam. Karena bagaimana pun juga, dalam sistem Pemilu di Indonesia, peran partai politik masih sangat sentral. Untuk maju dalam Pemilu Presiden, seseorang harus dicalonkan atau didukung oleh partai politik. PAN harus memahami bahwa sebesar apa pun dukungan dari luar terhadap Hatta, kuncinya tetap berada di internal partai. Untuk sektor internal ini, PAN memiliki pekerjaan rumah (pe-er) yang tidak ringan.
Mengacu pada Pemilu 2009, undang-undang mensyaratkan pasangan calon presiden-wakil presiden diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang sedikitnya memperoleh 25 persen suara sah atau 20 persen kursi di DPR. Artinya, dukungan dari luar itu akan mubazir, andai PAN tidak mampu memperoleh 25 persen suara sah atau menempatkan wakilnya di DPR sekurang-kurangnya 20 persen dari jumah kursi DPR. Kalau pun tidak mencapai ambang batas minimal syarat mencalonkan presiden-wakil presiden, PAN harus membentuk koalisi. Tapi dengan modal sekitar 7 persen perolehan suara di Pemilu 2009, sulit bagi PAN untuk memajukan calon presiden-wapres sendiri. Pilihan koalisi adalah yang paling realistis. Namun kalau perolehan suara di Pemilu 2014 tidak jauh berbeda dari 2009, menyulitkan posisi tawar PAN dalam koalisi. Untuk mencalonkan Hatta, PAN pastinya akan sulit mengajak Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDI Perjuangan untuk berkoalisi, jika yang ditawarkan kepada mereka posisi kedua. Khusus untuk Demokrat, kedekatan Hatta dengan SBY bisa membalikkan kalkulasi politik. Artinya, atas seijin SBY, bisa saja Demokrat mendukung Hatta sebagai presiden dan menempatkan calonnya di posisi wakil presiden.
Namun sebagai partai yang terang-terangan mencalonan Ketua Umumnya untuk maju ke Pilpres 2014, PAN tidak boleh terlalu berharap pada kalkulasi politik partai lain. PAN harus memberdayakan sendiri kader dan konstituennya, sehingga bisa berbicara banyak di Pemilu 2014. Dengan modal 7 persen di Pemilu 2009, PAN harus bekerja keras dalam Pemilu 2014. Apalagi hasil survei yang di-release oleh beberapa lembaga survei menunjukkan adanya tren penurunan perolehan suara PAN. Disinilah korelasi pepatah ‘nafsu gede, tenaga kurang’. PAN harus mendukung nafsunya untuk mencalonkan Hatta sebagai presiden di Pemilu 2014 dengan ‘tenaga’ yang luar biasa. Saat ini ‘tenaga’ PAN masih kurang untuk mendukung pencalonan Hatta.
Momen Rakernas dan Silatnas PAN hendaknya dimanfaatkan sebagai ajang konsolidasi dan menyatukan kekuatan. Tingkat pengenalan PAN yang masih rendah di masyarakat harus disikapi secara serius dalam Rakernas. Penyelesaian masalah internal PAN harus menjadi prioritas dalam pembahasan Rakernas, sebelum mengerucutkan keputusan pencalonan Hatta.
Selain tingkat pengenalan dan masih rendahnya perolehan suara PAN, satu hal penting yang harus dibahas dalam Rakernas adalah pemantapan program menuju 2014. Jangan dulu bicara masalah pencalonan presiden, jika PAN belum mengatasi persoalan internal dan memiliki program yang jelas menuju Pemilu 2014.
Pemilu memang masih 2 tahun lagi. Namun persiapan harus dilakukan dari sekarang. PAN sebenarnya memiliki keuntungan dengan adanya sosok Hatta Rajasa. Sebagai politisi, Ketua Umum PAN ini memiliki banyak keunggulan dibanding tokoh-tokoh yang akan maju dalam Piplres 2014. PAN bisa mengeksploitasi keunggulan Hatta ini sebagai bagian strategi meraup suara di masyarakat.
Personality Factor
Sebagai politikus, birokrat dan personal, Hatta Rajasa memiliki banyak kelebihan. Dalam pergaulan politik, Hatta diterima oleh banyak kalangan. Komunikasi politiknya bagus, sehingga bisa diterima oleh banyak elit partai. Pergaulan politik Hatta juga luas, dari tingkat nasional sampai internasional. Resistensi yang rendah terhadap partai politik lain di luar PAN menjadikan Hatta mudah menarik dukungan.
Keberadaan Hatta sebagai Menteri Koordinator Perekonomian juga menjadi keuntungan untuk PAN. Sebagai birokrat, Hatta cukup bersih dari coreng hitam. Kalau pun belakangan namanya terseret kasus hibah kereta, namun dalam penyelidikan Hatta dianggap bersih dan tidak terlibat. Kondisi makro ekonomi yang terus membaik dan mampu bertahan dari segala macam krisis global, tidak lepas dari peran Hatta sebagai Menko Perekonomian.
Sementara itu sebagai personal, banyak yang menganggap Hatta itu kalem, santun dan ramah. Hampir tidak pernah terdengar celotehan negatif dari personal Hatta. Di kalangan media, dia juga dikenal baik dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang bersifat kritik.
Personality factor iniah yang harus dimanfaatkan PAN. Kalau serius untuk menjadikan Hatta sebagai calon presiden, PAN harus menjaga supaya pamor Hatta ini terus bertahan dan menemui titik kulminasi dalam pemilihan presiden 2014. Satu lagi personality factor yang menurut saya cukup positif dari Hatta adalah tindakannya yang penuh perhitungan. Satu contoh soal pencalonannya sebagai presiden. Meski PAN dan orang-orang di sekelilingnya sudah ‘santer’ mencalonkan dirinya, Hatta masih belum memberikan statement, baik menolak maupun menerima. Artinya, Hatta sangat berhitung, ketika harus memutuskan dirinya menerima atau menolak pencalonannya. Alasan yang selalu disampaikan Hatta adalah dirinya masih menjabat sebagai Menko Perekonomian dan ingin fokus menyelesaikan permasalahan perekonomian, kemiskinan dan pengangguran.
Dari sisi etika, sikap Hatta di atas menunjukkan bahwa dirinya sudah bisa menempatkan diri, kapan harus berbicara sebagai pejabat, ketua umum partai dan individu. Sangat disayangkan kalau keunggulan individu ini menjadi sia-sia, karena PAN sebagai partai yang menaungi Hatta tidak siap menghadapi Pemilu 2014 nanti.(***)
Tole Sutrisno
Penulis adalah Direktur Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia