detik.com, 28 Desember 2010 |
Bagi departemen atau kementerian yang masih memiliki sisa anggaran cukup banyak muncul fenomena program dadakan di bulan Desember. Sayangnya program-program itu hanya sekadar menghabiskan anggaran. Fenomena ini harus jadi perhatian serius pemerintah supaya tidak ada "pemubaziran" anggaran.
Dalam sebuah sidang kabinet yang dilakukan di Istana Bogor Oktober lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta kepada seluruh kementerian, lembaga, dan departemen pemerintah untuk mengefisienkan pembelanjaan anggaran negara.
Permintaan itu mensiratkan bahwa presiden tidak mau ada pemborosan anggaran. Ibarat pepatah "tak ada asap kalau tak ada api", pernyataan dan permintaan presiden tentunya mengandung banyak makna.
Secara semiotik makna pertama yang bisa ditangkap dari pernyataan presiden adalah ada kemungkinan SBY mencium adanya "pemubaziran" anggaran menjelang akhir tahun. Terkait anggaran yang tersisa. Analisa yang bisa dikemukakan adalah tingkat kegiatan yang dilakukan "personel" departemen cenderung meningkat ketika memasuki bulan November dan Desember.
Satu contoh kasus. Penulis kebetulan mempunyai saudara yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah kementerian. Selama bulan November dan Desember saudara penulis super sibuk mengikuti pimpinannya melakukan kunjungan ke beberapa wilayah di luar kota. Bahkan, ketika ke Batam, kunjungan dilanjutkan ke Singapura, hanya untuk sekadar pelesir dan beli oleh-oleh.
Ketika ditanya mengenai intensitas dinas keluar kota yang banyak di bulan November dan Desember, saudara penulis dengan enteng mengatakan, "untuk menghabiskan anggaran, supaya tidak mengembalikan ke kas negara. Karena kalau tahun ini anggaran sisa, tahun berikutnya anggaran untuk kementerian bisa dikurangi".
Jika dalam sekali kunjungan dinas ke daerah bisa menghabiskan anggaran minimal Rp 100 juta bisa dibayangkan berapa anggaran yang tersedot untuk minimal 6 kegiatan dalam sebulan. Padahal, itu baru yang dilakukan satu direktorat. Belum direktorat lainnya.
Makna kedua yang bisa dianalisis dari pernyataan SBY di depan para menterinya adalah sebuah bentuk kegelisahan. Sebagai presiden, SBY sudah memberi contoh bagaimana memperlakukan anggaran negara yang tersisa.
Misalnya SBY menyampaikan lembaga kepresidenan sejak tahun 2005 sampai 2009 selalu mengembalikan anggaran yang tersisa. Mulai dari yang paling rendah Rp 50 miliar sampai yang paling tinggi Rp 80 miliar per tahun.
Namun, langkah efisiensi dan keterbukaan yang dilakukan pihak kepresidenan ternyata kurang mendapat respons dari kementerian-kementerian. Kita sangat jarang mendengar seorang menteri mengatakan kepada publik bahwa di kementerian atau departemen yang dipimpinnya masih ada sisa anggaran dan dikembalikan ke kas negara.
Justru yang sering muncul adalah pernyataan bahwa kementerian sudah menjalankan program-program yang bisa menyerap seluruh anggaran dari pemerintah. Adanya pemahaman bahwa setiap anggaran yang dialokasikan dari kas negara harus dihabiskan memunculkan pratik-praktik "pemubaziran" pada akhir tahun ketika mengetahui anggaran yang dialokasikan pemerintah masih tersisa.
Prinsip efisiensi anggaran yang sering ditekankan SBY kepada para bawahannya seperti angin lalu karena adanya prinsip penghabisan anggaran. Padahal, kalau prinsip efisiensi ini dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga daerah negara akan menghemat anggaran puluhan triliun.
Anggaran yang tersisa itu bisa dialihkan ke lembaga lain yang selama ini mengandalkan pembiayaan dari utang. Misalnya pengadaan alutsista TNI yang selama ini ditutup dengan kredit ekspor.
Dari efisiensi yang bisa menghemat anggaran sampai puluhan triliun rupiah alokasikan bisa dialihkan untuk menutup utang pengadaan alutsista TNI. Selain itu sisa anggaran hasil dari efisiensi juga bisa digunakan untuk mendukung program-program untuk rakyat (PUR).
Transparansi Anggaran
Untuk mendukung program efisiensi dan menghindari praktik "pemubaziran" atau pemborosan anggaran pemerintah perlu menerapkan adanya transparansi di tingkat kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Setiap penggunaan anggaran harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik (rakyat) dan pemerintah (negara).
Setiap anggaran yang dikeluarkan harus digunakan untuk program yang jelas dari segi manfaat dan jangkauannya. Jangan sampai posting anggaran hanya untuk memenuhi prinsip "penghabisan" atau sekadar mengklopkan jumlah yang dialokasikan dari negara.
Untuk mendukung transparansi dan proyeksi anggaran di tahun berikutnya kementerian maupun lembaga lainnya harus bersikap fair. Kalau sisa ya harus dikatakan jumlahnya berapa dan dikembalikan ke negara. Kalau pun kurang ya harus dikatakan supaya pada tahun anggaran berikutnya bisa diproyeksikan.
Seperti yang dilakukan Kementerian Perekonomian sudah sepatutnya diikuti kementerian dan lembaga lain. Akhir November lalu Kementerian Perekonomian menyatakan terjadi penghematan Rp 11 miliar atau 10 persen dari APBN yang sudah ditetapkan.
Melalui efisiensi seharusnya kementerian dan lembaga pemerintah lainnya mampu melakukan penghematan. Efisiensi bisa dilakukan dengan mengurangi perjalanan dinas yang tidak perlu, penghematan alat tulis kantor, dan mengurangi belanja barang yang asas manfaatnya tidak ada.
Kalau efisiensi di semua tingkat kementerian dan lembaga pemerintahan itu dikonversi tentunya akan terjadi penghematan yang sangat luar biasa dan nilainya bisa mencapai puluhan triliunan rupiah. Menurut perkiraan Kementerian Keuangan kalau terjadi penghematan di semua kementerian dan lembaga pemerintahan nilai anggaran yang bisa disisihkan mencapai Rp 60 triliunan.
Ini jumlah yang sangat besar dan mempunyai banyak manfaat.
*) Tole Sutrisno adalah Direktur Operasional Developing Countries Studies Centre (DCSC) Indonesia.