Menanti Realisasi Visi Ekonomi Indonesia

TATANAN ekonomi dan politik dunia sekarang dihadapkan pada krisis ekonomi, pangan dan energi, terutama minyak. Krisis ekonomi dan pangan telah menaikkan suhu politik di Mesir, sehingga menyebabkan Hosni Mubarak tumbang. Pun yang terjadi di Tunisia. Libya menjadi negara ke sekian yang terkena efek domino dari krisis yang melanda dunia.

Indonesia harus bersiap diri, supaya krisis yang terjadi di dunia tidak menimbulkan gejolak di dalam negeri. Visi Ekonomi Indonesia tahun 2011-2025 yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian harus ditindaklanjuti secara nyata. Realisasi visi ekonomi tersebut akan menjadi kunci atas peran besar Indonesia dalam ekonomi global.


Sebagai negara berkembang yang perekonomiannya tumbuh cepat, Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi “motor" dunia. Tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas enam persen, atau lebih tinggi daripada Rusia yang hanya empat persen. Padahal, Rusia merupakan anggota BRIC (Brasil, Rusia, India dan China), yaitu kelompok negara yang dianggap punya peran penting dalam ekonomi dunia. Karenanya, tidak salah ketika para pengamat dan analis ekonomi dunia menganggap Indonesia sudah layak bergabung dalam BRIC atau BRICI (Brasil, Rusia, India, China, dan Indonesia).


Sebagai uji kelayakan atas keyakinan para pengamat dan analis ekonomi dunia, Indonesia harus bisa merealisasikan Visi Ekonomi tahun 2011-2025, yang di dalamnya memuat pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah mengenai strategi transformasi ekonomi, target distribusi, dan pengembangan ekonomi daerah. Visi Ekonomi Indonesia tahun 2011-2025 tidak lepas dari peran kawasan yang bergerak dinamis. Hal ini sinkron dengan koridor pembangunan dan percepatan ekonomi yang digalakkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.


Reformasi ekonomi dari sistem otoriter (sebelum 1998), yang kemudian menjadi demokrasi seperti sekarang ini, sebenarnya cukup mendukung visi ekonomi 2011-2025. Saat ini Indonesia bisa berkonsentrasi pada perekonomian berbasis nasional dan sumber daya alam. Hal ini juga dilakukan China dan India sebagai syarat masuk dalam kelompok BRIC.


Kita tahu, sebelum reformasi Indonesia lebih berorientasi pada sumber daya alam, terutama bahan mentah, Indonesia hanya menjual sumber daya alam dan bahan mentah negara asing. Indonesia hanya menikmati hasil pengolahan produksi melalui mekanisme impor. Sebagai negara produsen sumber daya alam, Indonesia kemudian menjadi importir aktif untuk barang yang suplai bahan mentahnya berasal dari dalam negeri. Tentu ini sebuah ironi.


Melalui visi ekonomi tahun 2011-2025, sumber daya alam dan bahan mentah yang selama ini menjadi sumber devisa ekspor bisa dijadikan sebagai pusat utama industri dan pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan nasional. Melalui visi ekonomi 2011-2025, sumber daya alam dan bahan mentah diolah serta diproduksi di dalam negeri. Melalui sistem koridor ekonomi dan percepatan pembangunan yang dikembangkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pengolahan sumber daya itu tidak hanya dilakukan di Pulau Jawa, melainkan juga bisa diproduksi di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara.


Untuk menunjang koridor ekonomi dan percepatan pembangunan, pemerintah harus sesegera mungkin mempersiapkan infrastruktur. Sebagaimana disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, setiap koridor ekonomi harus selalu diikuti oleh pembangunan sarana infrastrktur yang memadai. Pembangunan Jembatan Suramadu, rencana pembangunan jembatan Selatan Sunda, pembangunan proyek jalan di Papua dan Sulawesi merupakan bagian dari dukungan terhadap tercapainya visi ekonomi tahun 2011-2025.


Modal Awal yang Mantap
Untuk merealisasikan Visi Ekonomi Indonesia tahun 2011-2025, pemerintah harus serius mengembangkan delapan program pokok atau sektor, yaitu: industri, pertambangan, pertanian, maritim, pariwisata, telekomunikasi, energi, dan pembangunan regional. Kalau mau jujur, tidak mudah mengembangkan delapan program pokok tersebut, karena ada kesenjangan pembangunan antarwilayah dan infrastruktur. Namun kita semua boleh yakin bahwa visi ekonomi ini akan berhasil direalisasikan sejalan dengan program pembangunan dan percepatan ekonomi melalui sistem koridor wilayah.


Sebenarnya Indonesia sudah memiliki modal awal, yaitu berupa sumber daya manusia dan kekayaan alam yang melimpah. Indonesia terbukti mampu bertahan dari berbagai krisis yang menunjukkan betapa kuatnya fondasi ekonomi. Keyakinan awal sebagai bangsa yang selalu mampu bisa bertahan dari krisis harus menjadi modal optimisme pemerintah untuk mewujudkan visi ekonominya ke depan.


Tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) perlu menyimak pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memberi sambutan dalam acara Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-45 beberapa waktu lalu. Menurut Presiden Yudhoyono, mengenai ekonomi sekarang dan ke depan, ada sembilan poin yang disebut imperatif, visi, atau grand strategy. Pertama, pembangunan ekonomi Indonesia ke depan harus memadukan pendekatan research,knowledge dan culture. Kedua, ekonomi Indonesia harus berkelanjutan. Artinya, harus ada keseimbangan, penghematan, dan optimalisasi sumber daya alam, sehingga anak-cucu bisa menikmati hasil pembangunan.


Ketiga, pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity. Keempat, memperkuat ekonomi dalam negeri dan pasar domestik. Kelima, ekonomi nasional harus berdimensi kewilayahan. Keenam, sumber-sumber investasi dan pendanaan dalam negeri harus diperkuat. Ketujuh, kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang dan sektor ekonomi. Kedelapan, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dijalankan secara bersamaan. Dan, kesembilan: perlu mekanisme pasar untuk efisiensi.


Melalui visi ekonomi yang jelas, apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu bukan sesuatu yang mengawang. Sebagian sudah dijalankan. Sementara sebagian lagi hanya memerlukan tindak lanjut. Sekarang dunia sudah menganggap Indonesia memiliki peran penting dalam perekonomian global. Eksistensi Indonesia di APEC, G20, G33, ASEAN dan beberapa perjanjian perdagangan bebas sangat diakui. Ini bisa menjadi modal tambahan (di luar sumber daya manusia dan alam) untuk menggapai visi ekonomi 2011-2025. 


Peneliti dan Direktur Operasional Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia